Minggu, 19 Desember 2010

Pemerintah Tawarkan Investasi Tambang

PEMERINTAH Indonesia menawarkan empat peluang investasi pertambangan kepada pemerintah Kanada, demikian dirilis vivanews.com. Investasi itu meliputi pembangunan infrastruktur pertambangan di Kalimantan, kontrak baru mineral dan batu bara, pengolahan energi batu bara, dan pencairan batu bara.
"Kami mengundang investor Kanada masuk dalam proyek pertambangan,"ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro dalam sambutan diskusi Canadian Mining Mission to Indonesia di Dharmawangsa, Jakarta, Senin 16 Maret 2009.
Kendati banyak pihak yang bereaksi negatif terhadap Undang-undang Mineral dan Batu Bara yang baru, menurut Purnomo masih banyak negara-negara yang minta melakukan investasi pertambangan di Indonesia.
Duta Besar Kanada untuk Indonesia John Holmes mengatakan, pemerintah Kanada akan melakukan pendekatan kepada asosiaisi pertambangan agar mengetahui gambaran menyeluruh tentang lingkungan usaha pertambangan di Indonesia.
"Industri pertambangan Kanada telah memiliki fokus international yang kuat," kata Holmes.
Saat ini sekitar 1.000 perusahaan eksplorasi mineral Kanada aktif beroperasi di negara-negara lain. Pada 2007, investasi perusahaan pertambangan Kanada ke luar negeri lebih dari US$50 miliar.
Pertanyaan yang masih menggantung hingga kini, seriuskan pemerintah pusat di Jakarta, membuka peluang investasi tambang di daerah, mengingat kewenangan daerah sepertinya tertekan dengan berbagai aturan soal lingkungan hidup, mulai dari kelestarian sungai hingga hutan lindung yang tak pernah kunjung jelas batas-batasnya juga kewenangan penetapannya.
Catatan penting lain yang bisa dipetik dari masalah ini adalah tumpang tindihnya aturan dan kewenangan, serta tidak pekanya pusat dalam melihat problematika pemda di tingkat daerah. Investor tambang juga pengusaha lokal, akan senantiasa menjadi bulan-bulanan ketidakjelasan kebijakan. Pada sisi ini kata salah seorang kawan di bidang tambang, membuka peluang terjadinya ekonomi biaya tinggi, karena semua serba tidak pasti. Hanya bupati dan gubernur yang bernyali bisa melawan ketidakpastian dengan mengajukan uji materil terhadap UU terkait.

Rabu, 08 Desember 2010

Jenderal TNI Peduli Petani



(Wawancara Pangdam VII Wirabuana, Saat Dijabat Mayjen. TNI Djoko Susilo Utomo)Di samping bertugas menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia dalam bentuk operasi militer perang, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Pangdam VII Wirabuana juga terus memprogramkan operasi selain militer perang, membantu aparat kepolisian menjaga keamanan, membantu program pemerintah, membantu petani meningkatkan produksi pertanian. Selain itu, mendukung upaya mengurangi dampak pemanasan global (Global Warming) dengan penanaman 1 juta pohon."Semua harus turun lapangan, tidak bisa tidak, kita harus berbuat apa saja demi rakyat, itu juga yang membuat saya malas diajak bicara dalam seminar-seminar, diperlukan kerja nyata," tegas Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Djoko Susilo Utomo, Pangdam VII Wirabuana, kepada Upeks, di Markas Kodam, Selasa (9/12).Salah satu operasi selain militer perang yang dilakukan jajaran Kodam VII Wirabuana, membantu tercapainya program ketahanan pangan Pemrov Sulsel yang bertekat mencapai target produksi besar 2 juta ton beras.
Menurut Djoko Susilo Utomo, sedikitnya ada 14 program pemerintah Sulsel yang melibatkan TNI, diantaranya mendukung tercapainya surplus 2 juta ton beras tadi. "Pada akhir 2008 ini, kami akan membuat laporan evaluasi terhadap setiap program yang telah dilakukan, termasuk mengawal tahapan pemilu 2009 mendatang," katanya.
Sebab, Kodam juga bertanggungjawab mengawal dan menjaga tahapan tersebut, mem-beckup kepolisian. "Apalagi tahun depan kita tahu kondisi ekonomi kurang kondusif, dan dampaknya akan kita rasakan pertengahan tahun depan," ujar Djoko.
Krisis global ini menurut penilaian Djoko, harus dicarikan solusi. Khusus menampung para buruh yang nantinya kehilangan pekerajaan karena di-PHK oleh perusahaan tempat mereka bekerja. "Informasi dari para ekonom, pertengahan 2009, krisis ini akan mulai terasa," ungkapnya.
Djoko menawarkan satu diantara sekian banyak solusi menghadapi badai krisis tersebut, yakni membantu pemerintah merealisasi ketahanan pangan. Caranya dengan membuka lahan tidur untuk menghidupkan sektor pertanian, sehingga para buruh tadi bisa pulang bertani. "TNI siap membantu membuka lahan tidur untuk menjadi lahan pertanian," katanya.
Bahkan dijelaskan, saat ini seluruh Korem se-Sulsel telah bergerak melakukan kegiatan membantu dan mendukung program menciptakan ketahanan pangan tadi. "Saya sudah tandatangan MoU dengan Pemrov Sulsel mengenai masalah ini," ungkap Djoko.
Untuk mendukung ketahanan pangan pemerintah tadi, TNI melakukan perbaikan-perbaikan beberapa sektor yang dianggap bisa menghambat tercapainya tujuan tersebut. Sebut misalnya sektor irigasi. Sarana irigasi ternyata sangat penting, karena berdasarkan data yang ada ternyata hanya 20% dari lahan yang ada di Sulsel mendapat layanan irigasi, sedangkan 80% lainnya hanya sawah tada hujan.
"Ini yang perlu dicarikan solusi, agar sawah-sawah tada hujan tadi bisa dialiri, Kami telah mengujicoba dengan memasang Pompa Air Tanpa Motor (PATM) di sejumlah kabupatan, seperti Bantaeng, Jeneponto, dan Wajo. Kemampuan pompa ini bisa menarik air sampai ratusan meter, sekarang sedang diujicoba," papar Djoko.
Hasilnya nanti, petani bisa panen sampai lima kali, dan tentu saja meningkatkan produksinya.
"Faktor lain yang kita lakukan untuk membantu petani adalah memberikan contoh dengan menanam bibit padi hibrida. Karena masyarakat tidak gampang menanam sesuatu yang baru, makanya kita beri contoh agar mereka mau. Hasinya, kalau biasanya setiap satu hektar hanya bisa menghasilkan 3-4 ton beras, maka dengan bibit tadi bisa meningkat sampai 10 ton, minimal 7 ton lah," katanya.
Pola tanam juga menjadi perhatian, personil TNI berusaha membantu petani memperbaiki pola tanam yang tradisional menjadi lebih baik lagi sehingga muaranya juga membantu meningkatkan produksi pangan. "Aparat kami di tingkat Badan Pembina Desa sudah turun untuk membantu masyarakat," katanya.
Mereka juga sudah ditatar khusus soal pola tanam, sehingga mereka bisa menjelaskan dan membantu masyarakat di daerahnya.
Masalah serius yang juga menghadang program ketanahan pangan ini, menurut Djoko, yakni pupuk yang sering hilang. "Ke mana larinya pupuk itu, hal ini telah kita selidiki dan cari bersama aparat kepolisian," tegas Djoko.
Sektor pembiayaan juga mendapat perhatian, TNI akan mengawal dan berusaha meyakinkan pihak perbankan agar bisa mengembalikan kepercayaan kepada petani. Supaya mereka dapat memberikan pinjaman. Demikian pula sebaliknya, TNI juga akan mendorong produksi petani meningkat sehingga mereka mampu membayar utang di bank.
Lalu mengapa Pangdam VII Wirabuana, Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Djoko Susilo Utomo, mau memprogramkan semua itu? Bahkan dia sendiri yang turun langsung menaman dan memberikan contoh kepada masyarakat agar mau berbuat meningkatkan produksinya.
"Ini saya lakukan selain karena memang saya suka dengan pertanian, juga merupakan perintah presiden, selain itu terkait masalah PHK buruh tadi. TNI siap membuka lahan tidur menjadi lahan produktif," ujar Djoko.
Bukan hanya sektor pertani, TNI juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pengurangan dampak pemanasan global (global warming). Hal ini dilakukan dengan cara memprogramkan pengadaan bibit dan penanaman pohon. Saat ini TNI telah melakukan pembibitan ratusan ribu pohon, juga telah menanam ratusan ribu bibit. "Kami target penanaman 1 juta pohon," tegasnya.
Khusus masalah keamanan daerah, Djoko meminta kepada seluruh masyarakat untuk tetap menjaga kewaspadaan, menjaga daerah ini agar tetap kondusif. "Jangan sampai situasi ini dimanfaatkan oknum-oknum tertentu yang berusaha membentur-benturkan kita dan tidak ingin melihat daerah ini kondusif," pinta Djoko.
Dia menilai kondisi Sulsel saat ini masih dalam taraf yang wajar-wajar saja. Memang beberapa waktu lalu sudah sempat bagus, tetapi belakangan ramai lagi lagi. "Tapi saya nilai masih wajar," katanya. Dia juga meminta semua pihak meredam gejolak tersebut. "Sekarang kita harus turun kelapangan, jangan hanya berwacana saja, saya lebih senang langsung ke lapangan daripada berwacana di seminar," katanya. (Zulkarnain Hamson)

Selasa, 07 Desember 2010

Konflik di Pabrik Gula Takalar

(Konflik Lahan Perkebunan, Warisan Kolonial Liputan: Zulkarnain Hamson)

SENGKETA yang terjadi pada area perkebunan tebu milik PTPN XIV atau di area Pabrik Gula Takalar Sulsel, bukanlah hal yang baru. Sekalipun motifnya terkadang sulit untuk diungkap secara pasti, namun sejumlah penelitian menyebutkan bahwa konflik soal lahan yang melibatkan petani adalah warisan sejarah kolonial.
Arief W Djati, dalam essainya di Ceritanet, soal 'Dimensi Tanah Perkebunan' menuliskan salah satu persoalan pertanahan yang tidak banyak diperbincangkan adalah tanah perkebunan. Ada kecenderungan, dengan berbagai alasan, pembicaraan mengenai persoalan itu malah dihindari. Padahal, kalau mau menengok sedikit sejarah, perkebunan merupakan sokoguru perekonomian Pemerintah Kolonial (Hindia) Belanda. Setelah kemerdekaan, peranan perkebunan justru merosot, mencuatkan hutang luar negeri, minyak, pertanian, industri manufaktur dan pariwisata.
Ada kesan kuat bahwa perkebunan adalah dunia yang tertutup, sukar dimasuki orang luar, dan berbagai label lain yang makin menjauhkan perhatian luar terhadap berbagai persoalan di dalam perkebunan. Dibutuhkan tenaga kerja dan tanah yang murah. Tanpa kedua syarat ini, perkebunan tidak akan dapat berkembang. Salah satu contoh adalah pabrik gula modern di Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat. Pabrik ini mengandalkan mesin uap dengan sistem pengairan kincir air, namun, perusahaan itu bangkrut di akhir 1920-an.
Intensifikasi dan ekstensifikasi yang patut dicatat di sini karena ada kaitannya dengan konflik tanah di daerah perkebunan adalah dimunculkannya Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) Pemerintah Kolonial Belanda, 1870. UU Agraria itu mengulas dua hal pokok. Yang pertama adalah pengakuan akan eigendom (hak milik mutlak/property right) dan yang kedua adalah erfpacht (Hak pengusaha Eropa untuk menyawa tanah dari pribumi selama 75 tahun). Dengan diberlakukannya UU Agraria itu, maka berbondong-bondonglah pengusaha perkebunan Belanda ke Hindia untuk menjalankan usaha perkebunan tanaman keras.
Seiring dengan intensifikasi dan ekstensifikasi agraria ini, maka konflik agraria antara petani pemilik tanah dengan perkebunan dan penguasa lokal pun meningkat. Dengan berbagai cara manipulatif, biasanya pemilik tanah akhirnya menyerahkan tanahnya untuk disewakan kepada perkebunan, yang bekerjasama dengan pemerintah lokal. Akibat selanjutnya pemilik tanah yang merasakan dampak perlakuan tidak adil itu mengadakan perlawanan terhadap Perkebunan. Di Jawa Timur, perlawanan-perlawanan ini kerap dilakukan di kawasan Pasuruan dan Sidoarjo.
Bisa disebutkan konflik tanah di daerah perkebunan --khususnya konflik petani melawan kolaborasi perkebunan dan pemerintah-- sudah terjadi. Lalu, bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah sama, ataukah berbeda?. Sepuluh tahun yang lalu, Anton Lucas menunjukkan berbagai dimensi baru dalam konflik pertanahan di Indonesia. Di masa Soekarno, yang berkonflik memperebutkan tanah adalah petani kecil atau petani yang tak bertanah melawan tuan tanah. Sedangkan di masa Orde Baru Suharto, konflik pertanahan berlangsung adalah antara pemilik tanah melawan kolaborasi pemodal dan penguasa, yang paling terlihat adalah BUMN perkebunan, salah satunya adalah Pabrik Gula Takalar. Kasus demikian itu, menurut Lucas, adalah kasus yang struktural, dan sangat menyolok pada jaman orde baru. Menurut Anton konflik tanah dewasa ini mengulang apa yang sudah pernah terjadi di dalam konflik tanah perkebunan dua abad lampau. Jadi bisa dikatakan tidak banyak perubahan konflik agraria jaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan jaman orde baru hingga yang terjadi saat ini.
Konflik yang terjadi pada Pabrik Gula Takalar, bisa didekatkan pada kasus tanah Jenggawah. Kasus tanah di daerah Jember itu mulai meletup sejak tahun 1970-an, merupakan perebutan antara petani penggarap melawan PTPN XVII. Dengan bantuan pemerintah setempat, PTPN menggunakan segala macam cara untuk melumpuhkan pelawanan petani penggarap. Alasannya tentu saja sederhana, ujar Dg Tallasa, yang salah seorang keluarga jauh istrinya ikut jadi korban di Takalar, "Mereka datang dan berkemah, juga mau menghentikan pabrik, maka polisi bertindak," katanya.
Berdasarkan tipologi konflik petani melawan PTPN, dimungkinkan karena BUMN ini menyebar di seluruh provinsi Indonesia, dari Sumatera sampai Sulawesi. Konflik jenis ini bermuara dari berbagai perkebunan milik Belanda, yang ditelantarkan saat masuknya Jepang dan diikuti dengan perang kemerdekaan. Dalam penguasaan PTPN yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) paling rendah 25 tahun, generasi baru petani mulai merangsek menuntut hak untuk memakai lahan itu. "Saya dengar ada yang bilang sudah berakhir HGU pada tahun 2005 lalu, tetapi ada yang bilang masih berjalan hingga 2020," kata Dg Tallasa.(ZH)

Sisno Adiwinoto: Saya Bertekad Menjaga Citra Sulsel

(Wawancara ini berlangsung saat Jenderal Sisno, Adiwinoto, saat masih menjabat Kapolda Selselrabar)

MASYARAKAT Bugis Makassar, memiliki adat istiadat dan nilai budaya yang tinggi, dengan budaya 'Siri' atau rasa malu, jika melanggar hukum, untuk itu saya berharap kita bisa bersama-sama menciptakan suasana aman, nyaman dengan pencitraan daerah yang baik, di mata nasional maupun internasional. Demikian ujar Kapolda Sulsel Irjen Pol Drs Sisno Adiwinoto MM, mengawali perbincangannya dengan Wakil Pimpinan Redaksi Upeks, Zulkarnain Hamson, di Executive Louge Hotel Clarion & Convention Makassar, Kamis (29/5).
Hukum bagaikan rem pada sebuah mobil. Kita berani membawa dan mengendarai mobil karena ada rem yang akan membuat kita berhati-hati, dan tak akan menubruk. Saya yakin, tidak ada seorang pun yang berani mengemudi mobil tanpa rem. Negara kita ini negara hukum, dengan 5 amanah reformasi, tegaknya supremasi hukum, bebas dari KKN, perlindungan HAM dan lingkungan hidup, demokratisasi, dan transparansi. Bagi aparat keamanan, supremasi hukum adalah bagi setiap pelanggar hukum wajib ditindak. Hukum itu dibuat untuk dipatuhi dan diikuti. Seperti itulah, kesimpulan perjalanan saya dari sejumlah kampus di Makassar.
Sekalipun bukan sebagai orang Bugis Makassar, saya tetap berniat mengabdi memperbaiki citra Sulsel yang terlanjur dinilai buruk sebagai daerah yang rusuh dengan demonstrasi dan unjukrasa. Tugas sebagai polisi adalah sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) demi terwujudnya keamanan dalam negeri dan penegakan hukum, dan pengayom masyarakat.
Jika menghitung hak pengunjuk rasa, mereka hanya beberapa orang, dibanding hak masyarakat pengguna jalan lainnya. Mengutip UU No 9 tahun 1998, menurutnya, produk hukum tersebut mengatur mekanisme pelaksanaan demo. Dalam UU itu tertuang aturan bahwa siapa pun dalam 3x24 jam yang hendak melaksanakan demo harus memberitahu aparat keamanan.
Kalau para pendemo tidak mengantongi surat pemberitahuan, paling-paling aparat keamanan hanya akan membubarkan aksi demo itu. Apalagi kalau sudah menghambat masyarakat pengguna jalan yang lebih banyak jumlahnya dan mereka perlu juga untuk mendapat perlindungan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan keselamatan dalam menjalankan aktifitas kerja sehari-hari.
Tugas aparat adalah mengamankan jalan demo. Yang ditindaki bukan pengunjuk rasanya, melainkan pelanggaran hukum, misalnya menghina orang, merusak barang, menganiaya dengan melempari. Itulah yang ditindak aparat. Para pendemo itu menyuarakan demokrasi, sekalipun terkadang terkesan memaksakan kehendak, mengganggu kenyamanan dan keselamatan orang, ketika ditindaki aparat disebut menghambat demokrasi
Sisno Adiwinoto mengemukakan, masalah demo sebenarnya biasa saja sepanjang berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang ada. Yang menjadi masalah adalah, aksi demo sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum yang lain. Juga mengganggu ketertiban umum. Misalnya, para pendemo berteriak-teriak mendiskreditkan aparat, mencaci lembaga, pemerintah, dan pejabat tertentu.
Polisi tidak dapat menolerir jika terjadi aksi pengrusakan, anarkisme, penganiayaan dan tindakan pelanggaran hukum yang lain. Pada waktu demo dibubarkan, dan mereka tidak mau bubar, tetap berdiam maka ancamannya pasal 212 tidak mengikuti petunjuk, atau menghalang-halangi aparat negara yang menjalankan tugas. kalau dia melawan maka pasalnya naik menjadi 214-216 melawan petugas.
Tugas saya selaku aparat adalah mengayomi, melindungi keamanan dan kenyamanan masyarakat, yang sederhananya adalah tidak dikenai lemparan batu. Semua ini demi jaminan kepada masyarakat diantaranya tiba di tempat tujuan tepat waktu.
Bagi polisi tindakan represif adalah jalan terakhir, ketika upaya-upaya persuasif tidak mempan dan membuahkan hasil. Polisi selalu berusaha menolong orang agar tidak melanggar HAM. Mengapa kita tidak mencontoh negara lain demo itu menjadi obyek wisata seperti di Jepang, demonstran membawakan tari-tarian adat, demo kita di sini terkadang menimbulkan kemacetan lalu lintas, sehingga merugikan pengguna jalan yang lain.
Di luar negeri jaminan kenyamanan dan ketentraman itu sudah lebih tinggi, kalau sebagai tetangga merasa terganggu dengan suara anjingnya, kita bisa menelepon polisi untuk meminta bantuan menertibkan suara anjingnya. Berbeda dengan kita terkadang sudah nyata menghambat, merusak, tetapi aparat diprotes kalau bertindak. Apa jadinya kalau demonstrasi dibiarkan berlangsung tanpa penertiban oleh aparat, negara kita ini akan sangat kacau.
Ada informasi yang saya peroleh, pencitraan masyarakat kita dari Sulsel ini sudah sangat buruk, contohnya di Jepang, kalau diketahui berasal dari Sulsel tidak akan ada perusahaan yang mau menerima mereka bekerja atau magang. Di beberapa tempat di tanah air, sarjana asal Sulsel lamarannya dikesampingkan akibat pencitraan buruk. Ketika baru menjabat Kapolda, setiap ucapan selamat selalu ada embel-embel hati-hati Makassar panas, tiada hari tanpa unjuk rasa.
Untuk minat investasi, saya sering dengar ada pengusaha lokal Sulsel yang mengatakan jangan ke Makassar pak, mending ke Manado, di sana aman dan nyaman, tidak ada demonstrasi, jaminan kenyamanan dan ketentraman lebih menjanjikan. Bisa dibayangkan pengusaha lokal saja berpikiran seperti itu, bagaimana dengan pengusaha dari luar.
Sebagai aparat, saya tidak pernah pusing dengan tuntutan agar saya mundur dari jabatan Kapolda. Tugas saya adalah menjalankan tugas amanah dan jabatan yang dipercayakan kepada saya. Memang kepolisian juga sudah mendeteksi adanya penyusupan dan aktor intelektual yang sengaja memanas-manasi mahasiswa untuk berdemonstrasi. Bahkan sampai berani menganiaya aparat kepolisian, juga mencorat-coret mobil di jalanan. (Zulkarnain Hamson)