Selasa, 07 Desember 2010

Konflik di Pabrik Gula Takalar

(Konflik Lahan Perkebunan, Warisan Kolonial Liputan: Zulkarnain Hamson)

SENGKETA yang terjadi pada area perkebunan tebu milik PTPN XIV atau di area Pabrik Gula Takalar Sulsel, bukanlah hal yang baru. Sekalipun motifnya terkadang sulit untuk diungkap secara pasti, namun sejumlah penelitian menyebutkan bahwa konflik soal lahan yang melibatkan petani adalah warisan sejarah kolonial.
Arief W Djati, dalam essainya di Ceritanet, soal 'Dimensi Tanah Perkebunan' menuliskan salah satu persoalan pertanahan yang tidak banyak diperbincangkan adalah tanah perkebunan. Ada kecenderungan, dengan berbagai alasan, pembicaraan mengenai persoalan itu malah dihindari. Padahal, kalau mau menengok sedikit sejarah, perkebunan merupakan sokoguru perekonomian Pemerintah Kolonial (Hindia) Belanda. Setelah kemerdekaan, peranan perkebunan justru merosot, mencuatkan hutang luar negeri, minyak, pertanian, industri manufaktur dan pariwisata.
Ada kesan kuat bahwa perkebunan adalah dunia yang tertutup, sukar dimasuki orang luar, dan berbagai label lain yang makin menjauhkan perhatian luar terhadap berbagai persoalan di dalam perkebunan. Dibutuhkan tenaga kerja dan tanah yang murah. Tanpa kedua syarat ini, perkebunan tidak akan dapat berkembang. Salah satu contoh adalah pabrik gula modern di Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat. Pabrik ini mengandalkan mesin uap dengan sistem pengairan kincir air, namun, perusahaan itu bangkrut di akhir 1920-an.
Intensifikasi dan ekstensifikasi yang patut dicatat di sini karena ada kaitannya dengan konflik tanah di daerah perkebunan adalah dimunculkannya Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) Pemerintah Kolonial Belanda, 1870. UU Agraria itu mengulas dua hal pokok. Yang pertama adalah pengakuan akan eigendom (hak milik mutlak/property right) dan yang kedua adalah erfpacht (Hak pengusaha Eropa untuk menyawa tanah dari pribumi selama 75 tahun). Dengan diberlakukannya UU Agraria itu, maka berbondong-bondonglah pengusaha perkebunan Belanda ke Hindia untuk menjalankan usaha perkebunan tanaman keras.
Seiring dengan intensifikasi dan ekstensifikasi agraria ini, maka konflik agraria antara petani pemilik tanah dengan perkebunan dan penguasa lokal pun meningkat. Dengan berbagai cara manipulatif, biasanya pemilik tanah akhirnya menyerahkan tanahnya untuk disewakan kepada perkebunan, yang bekerjasama dengan pemerintah lokal. Akibat selanjutnya pemilik tanah yang merasakan dampak perlakuan tidak adil itu mengadakan perlawanan terhadap Perkebunan. Di Jawa Timur, perlawanan-perlawanan ini kerap dilakukan di kawasan Pasuruan dan Sidoarjo.
Bisa disebutkan konflik tanah di daerah perkebunan --khususnya konflik petani melawan kolaborasi perkebunan dan pemerintah-- sudah terjadi. Lalu, bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah sama, ataukah berbeda?. Sepuluh tahun yang lalu, Anton Lucas menunjukkan berbagai dimensi baru dalam konflik pertanahan di Indonesia. Di masa Soekarno, yang berkonflik memperebutkan tanah adalah petani kecil atau petani yang tak bertanah melawan tuan tanah. Sedangkan di masa Orde Baru Suharto, konflik pertanahan berlangsung adalah antara pemilik tanah melawan kolaborasi pemodal dan penguasa, yang paling terlihat adalah BUMN perkebunan, salah satunya adalah Pabrik Gula Takalar. Kasus demikian itu, menurut Lucas, adalah kasus yang struktural, dan sangat menyolok pada jaman orde baru. Menurut Anton konflik tanah dewasa ini mengulang apa yang sudah pernah terjadi di dalam konflik tanah perkebunan dua abad lampau. Jadi bisa dikatakan tidak banyak perubahan konflik agraria jaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan jaman orde baru hingga yang terjadi saat ini.
Konflik yang terjadi pada Pabrik Gula Takalar, bisa didekatkan pada kasus tanah Jenggawah. Kasus tanah di daerah Jember itu mulai meletup sejak tahun 1970-an, merupakan perebutan antara petani penggarap melawan PTPN XVII. Dengan bantuan pemerintah setempat, PTPN menggunakan segala macam cara untuk melumpuhkan pelawanan petani penggarap. Alasannya tentu saja sederhana, ujar Dg Tallasa, yang salah seorang keluarga jauh istrinya ikut jadi korban di Takalar, "Mereka datang dan berkemah, juga mau menghentikan pabrik, maka polisi bertindak," katanya.
Berdasarkan tipologi konflik petani melawan PTPN, dimungkinkan karena BUMN ini menyebar di seluruh provinsi Indonesia, dari Sumatera sampai Sulawesi. Konflik jenis ini bermuara dari berbagai perkebunan milik Belanda, yang ditelantarkan saat masuknya Jepang dan diikuti dengan perang kemerdekaan. Dalam penguasaan PTPN yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) paling rendah 25 tahun, generasi baru petani mulai merangsek menuntut hak untuk memakai lahan itu. "Saya dengar ada yang bilang sudah berakhir HGU pada tahun 2005 lalu, tetapi ada yang bilang masih berjalan hingga 2020," kata Dg Tallasa.(ZH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar