Selasa, 07 Desember 2010

Sisno Adiwinoto: Saya Bertekad Menjaga Citra Sulsel

(Wawancara ini berlangsung saat Jenderal Sisno, Adiwinoto, saat masih menjabat Kapolda Selselrabar)

MASYARAKAT Bugis Makassar, memiliki adat istiadat dan nilai budaya yang tinggi, dengan budaya 'Siri' atau rasa malu, jika melanggar hukum, untuk itu saya berharap kita bisa bersama-sama menciptakan suasana aman, nyaman dengan pencitraan daerah yang baik, di mata nasional maupun internasional. Demikian ujar Kapolda Sulsel Irjen Pol Drs Sisno Adiwinoto MM, mengawali perbincangannya dengan Wakil Pimpinan Redaksi Upeks, Zulkarnain Hamson, di Executive Louge Hotel Clarion & Convention Makassar, Kamis (29/5).
Hukum bagaikan rem pada sebuah mobil. Kita berani membawa dan mengendarai mobil karena ada rem yang akan membuat kita berhati-hati, dan tak akan menubruk. Saya yakin, tidak ada seorang pun yang berani mengemudi mobil tanpa rem. Negara kita ini negara hukum, dengan 5 amanah reformasi, tegaknya supremasi hukum, bebas dari KKN, perlindungan HAM dan lingkungan hidup, demokratisasi, dan transparansi. Bagi aparat keamanan, supremasi hukum adalah bagi setiap pelanggar hukum wajib ditindak. Hukum itu dibuat untuk dipatuhi dan diikuti. Seperti itulah, kesimpulan perjalanan saya dari sejumlah kampus di Makassar.
Sekalipun bukan sebagai orang Bugis Makassar, saya tetap berniat mengabdi memperbaiki citra Sulsel yang terlanjur dinilai buruk sebagai daerah yang rusuh dengan demonstrasi dan unjukrasa. Tugas sebagai polisi adalah sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) demi terwujudnya keamanan dalam negeri dan penegakan hukum, dan pengayom masyarakat.
Jika menghitung hak pengunjuk rasa, mereka hanya beberapa orang, dibanding hak masyarakat pengguna jalan lainnya. Mengutip UU No 9 tahun 1998, menurutnya, produk hukum tersebut mengatur mekanisme pelaksanaan demo. Dalam UU itu tertuang aturan bahwa siapa pun dalam 3x24 jam yang hendak melaksanakan demo harus memberitahu aparat keamanan.
Kalau para pendemo tidak mengantongi surat pemberitahuan, paling-paling aparat keamanan hanya akan membubarkan aksi demo itu. Apalagi kalau sudah menghambat masyarakat pengguna jalan yang lebih banyak jumlahnya dan mereka perlu juga untuk mendapat perlindungan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan keselamatan dalam menjalankan aktifitas kerja sehari-hari.
Tugas aparat adalah mengamankan jalan demo. Yang ditindaki bukan pengunjuk rasanya, melainkan pelanggaran hukum, misalnya menghina orang, merusak barang, menganiaya dengan melempari. Itulah yang ditindak aparat. Para pendemo itu menyuarakan demokrasi, sekalipun terkadang terkesan memaksakan kehendak, mengganggu kenyamanan dan keselamatan orang, ketika ditindaki aparat disebut menghambat demokrasi
Sisno Adiwinoto mengemukakan, masalah demo sebenarnya biasa saja sepanjang berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang ada. Yang menjadi masalah adalah, aksi demo sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum yang lain. Juga mengganggu ketertiban umum. Misalnya, para pendemo berteriak-teriak mendiskreditkan aparat, mencaci lembaga, pemerintah, dan pejabat tertentu.
Polisi tidak dapat menolerir jika terjadi aksi pengrusakan, anarkisme, penganiayaan dan tindakan pelanggaran hukum yang lain. Pada waktu demo dibubarkan, dan mereka tidak mau bubar, tetap berdiam maka ancamannya pasal 212 tidak mengikuti petunjuk, atau menghalang-halangi aparat negara yang menjalankan tugas. kalau dia melawan maka pasalnya naik menjadi 214-216 melawan petugas.
Tugas saya selaku aparat adalah mengayomi, melindungi keamanan dan kenyamanan masyarakat, yang sederhananya adalah tidak dikenai lemparan batu. Semua ini demi jaminan kepada masyarakat diantaranya tiba di tempat tujuan tepat waktu.
Bagi polisi tindakan represif adalah jalan terakhir, ketika upaya-upaya persuasif tidak mempan dan membuahkan hasil. Polisi selalu berusaha menolong orang agar tidak melanggar HAM. Mengapa kita tidak mencontoh negara lain demo itu menjadi obyek wisata seperti di Jepang, demonstran membawakan tari-tarian adat, demo kita di sini terkadang menimbulkan kemacetan lalu lintas, sehingga merugikan pengguna jalan yang lain.
Di luar negeri jaminan kenyamanan dan ketentraman itu sudah lebih tinggi, kalau sebagai tetangga merasa terganggu dengan suara anjingnya, kita bisa menelepon polisi untuk meminta bantuan menertibkan suara anjingnya. Berbeda dengan kita terkadang sudah nyata menghambat, merusak, tetapi aparat diprotes kalau bertindak. Apa jadinya kalau demonstrasi dibiarkan berlangsung tanpa penertiban oleh aparat, negara kita ini akan sangat kacau.
Ada informasi yang saya peroleh, pencitraan masyarakat kita dari Sulsel ini sudah sangat buruk, contohnya di Jepang, kalau diketahui berasal dari Sulsel tidak akan ada perusahaan yang mau menerima mereka bekerja atau magang. Di beberapa tempat di tanah air, sarjana asal Sulsel lamarannya dikesampingkan akibat pencitraan buruk. Ketika baru menjabat Kapolda, setiap ucapan selamat selalu ada embel-embel hati-hati Makassar panas, tiada hari tanpa unjuk rasa.
Untuk minat investasi, saya sering dengar ada pengusaha lokal Sulsel yang mengatakan jangan ke Makassar pak, mending ke Manado, di sana aman dan nyaman, tidak ada demonstrasi, jaminan kenyamanan dan ketentraman lebih menjanjikan. Bisa dibayangkan pengusaha lokal saja berpikiran seperti itu, bagaimana dengan pengusaha dari luar.
Sebagai aparat, saya tidak pernah pusing dengan tuntutan agar saya mundur dari jabatan Kapolda. Tugas saya adalah menjalankan tugas amanah dan jabatan yang dipercayakan kepada saya. Memang kepolisian juga sudah mendeteksi adanya penyusupan dan aktor intelektual yang sengaja memanas-manasi mahasiswa untuk berdemonstrasi. Bahkan sampai berani menganiaya aparat kepolisian, juga mencorat-coret mobil di jalanan. (Zulkarnain Hamson)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar