Senin, 20 September 2010

Tiga Bocah Tulang Punggung Keluarga

SIANG menjelang petang, di atas sadel motor yang sedang kupacu, meliuk diantara kemacetan sudut jalan Toddopuli Raya dan Batua Raya, Kota Makassar yang lima tahun terakhir ini didera 'penyakit' kronis kemacetan, akibat kian padatnya volume kendaraan baik sepeda motor maupun mobil, tiba-tiba saja pikiranku memilih jalur alternatif, agar tak terjebak kemacetan.
Setir motor kubelokkan menuju samping kantor Kecamatan Panakkukang. Dari sana saya bisa dengan leluasa memilih jalur perumahan Maizonette, samping terminal Pasar Toddopuli Makassar, selanjutnya menuju Mal Panakkukang. Saat berbelok, tiba-tiba salah seorang anak usia 10 tahunan, dengan baju kaos lusuh memotong jalur ban depan motorku. Dengan sigap rem motor kuinjak dengan keras, motorku berhenti dan anak itu melempar senyum simpul, lengannya yang kurus melambai memanggil dua orang bocah rekannya, yang duduk santai di besi bundar jembatan Batua Raya. "Ayo naik..." ujarnya memberi komando.
"Menumpang om..." ujarnya lagi dengan nada memelas. Kesannya masih menunggu persetujuanku, namun dari jemarinya terkesan setengah memaksa agar dua bocah kecil rekannya tadi naik ke jok motor. Tiba tiba kurasa remasan jemari kecil di pinggangku, dan beberapa saat kemudian dua bocah ingusan tadi sudah duduk, bahkan setengah mendesak posisiku agar kedepan. "Mau kemana" ujarku dengan nada keheranan. "Mau menumpang ke pasar Toddopuli Om.." ujarnya lagi.
Setelah memerintahkan mereka naik, motor yang berhenti agak ketengah jalan itu kupacu, bau keringat masam menyeruak diantara lenganku, ketiga bocah kecil ini luar biasa semerbak, ujarku membatin. Di perjalanan, 'kuintrogasi' mereka bertiga. Hendra, demikian nama bocah yang menahan motorku, dia duduk paling belakang, karena posturnya yang lebih besar, menjawab, bahwa jika jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, mereka harus segera ke belakang pasar sayur, untuk mengais limbah para penjual, untuk penganan makan malam mereka di rumah.
Setelah beberapa menit kemudian, motorku tiba di depan kantor Pegadaian, yang terletak di belakang pasar Toddoppuli. Tiga orang bocah itu serempak berupaya turun dari dari sadel motorku. Setelahnya, di belakangku, tiga bocah ingusan itu sudah berjajar rapi. Ku standar motorku, melepas helem dan memperhatikan wajah mereka lamat-lamat. Wajah anak-anak Indonesia masa depan, yang kuyu, layu, namun biji mata menyala, seperti menunggu perintah merebut sesuatu di emper pasar yang sedang menggunung menunggu truk sampah mengangkutnya.
"Saya Hendra, kalau yang kecil ini namanya Cebol dan yang ini namanya Mayor," ujarnya memperkenalkan kedua 'anak buah' yang sore itu bersamanya. Hendara, Cebol dan Mayor, secara singkat bercerita tentang latar belakang keluarga mereka. Ayah Hendra, tukang batu, Cebol anak tukang Becak dan si Mayor, ternyata tak bisa menjelaskan profesi ayahnya. Namun dari uraian Hendra, kuketahui ayah Mayor adalah seorang buruh harian.
Hendra, bercerita bahwa mengumpulkan limbah sayuran di pasar untuk lauk makan di rumah mereka, sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Dengan begitu, ketiga bocah ingusan ini sudah bisa mengepulkan asap dapur keluarganya. Hendra, dengan meyakinkan berusaha menjelaskan kepadaku, bahwa sayuran yang dilempar para penjual ke tempat sampah, sesungguhnya masih layak untuk dijadikan penganan di rumahnya. "Masih banyak sayur dan tomat yang bagus om," ujarnya meyakinkan.
Kurogoh kocek celanaku, selembar pecahan Rp10 ribu dan pecahan Rp2000 rupiah baru ada di dalamnya. Kuserahkan dua lembar uang kertas itu kepada Hendra, dan mengingatkannya agar membagikan kepada Cebol dan Mayor. Ketiganya bertatapan, serempak suara ketiga bocah itu berucap terima kasih. Kunasehati Hendra, agar memegang lengan Cebol, karena kulihat fisiknya terlalu rentan untuk berada dalam pasar. Ketiganya berlarian menyeberangi jalan, mataku menatap mereka dengan berbagai isi kepala yang berkecamuk.
Tiga bocah ingusan, pejuang hidup keluarga itu tengah memasuki medan pertarungan, semoga rejeki limbah sayuran sudah tersedia untuk mereka angkut sore ini. "Ya Allah, ayatmu sungguh sangat nyata bagiku, Kullan Yusibana Illama Kataballahu Lana, Hua Maulana Wa Alawllahi Fal Yatawakkalil Mukminuna...". Rejekimu telah engkau sediakan, bagi mahlukmu, bahkan yang berada dalam lubang tanah sekalipun.

Makassar, 21 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar